Salah
satu hadiah terbaik yang aku bawa pulang ketika AIYEP berakhir adalah keluarga
angkat. Nah, Cerita kali ini akan aku fokus kan ke satu keluarga angkat yang
aku temui ketika aku mengikuti AIYEP tahun 2013 yang lalu. Mereka adalah Reid
Family.
1.
Awal Pertemuan
Mari kita berkenalan dengan para tokoh utama terlebih dahulu. Reid
Family terdiri dari:
a.
Chris (Ayah angkat). Chris berasal dari Inggris
tapi sudah menjadi kewarganegaraan Australia dan bekerja di Australian Museum in Sydney sebagai experts and researcher, juga merangkap
sebagai dosen di salah satu Universitas di Australia. Chris tipikal ayah yang
protektif dan penyayang. Oh I miss him so
bad. I will talk about him later.
b.
Evi (Ibu angkat). I called her Ibu Evi. She is
Indonesian, Lampung tepatnya. Ketika masih di Indonesia, Ibu Evi mengajar
di Universitas Indonesia. But not
anymore. She concerns about sociology, feminism, and social community. Dan beliau
menyelesaikan gelar master dan doctor di Australia dan berkeluarga disana.
c.
Ewan (Baca: Yiwen. Adik angkat). I called him “big brother”. Haha. He is much younger than me. Tapi karena
tinggi badan kita sama (padahal dia masih SMP waktu itu), akhirnya dia ikhlas
dan pasrah aku panggil big brother. Bareng
dia, aku merasa stupid. Dia tipikal
anak yang malas belajar (kata emak babe nya) tapi pinter. Sebel banget engga
sih, kebalik abis sama aku yang harus usaha keras belajar supaya jadi tahu. Huft.
Anyway, I am a super proud sister. Haha.
Reid family offers the warm relationship when I was in Sydney for the
first time. I lived with them and shared many things including interest,
culture, language, etc.
Suatu hari, aku pernah pake
baju kaos tebel warna biru soft yang
tulisannya “Cambridge, United Kingdom”.
Muncullah percakapan diantara kita berdua waktu itu.
Chris : Nurul, have you been to
the UK before?
Me : Nope, why?
Chris : Did your friend give
the jumper for you from the UK?
Me : Nope. I bought it in
Aceh. Why?
Chris : Because I am from the
UK. Scotland. My Mum lives there. Your jumper reminds me of my hometown (Smiling)
Me : oh you are from
Scotland.
Chris : Let me show you the
album of my family.
Jadi hari itu kita ended up ngeliatin album foto
keluarganya yang di Scotland dan aku amaze
banget dengan pemandangan yang disuguhkan. Gila. Bagus banget! Yang aku inget
waktu itu aku cuma “pengen” kesana tapi enggak tahu kapan dan bagaimana. Intinya
Cuma “pengen aja”. Dan akhirnya aku tahu bahwa si ayah angkat ku ini aslinya
orang Inggris yang udah jadi kewarganegaraan Australia. Begitu juga dengan ibu
angkatku. Asli Indonesia tapi udah kewarganegaraan Australia (waktu itu belum
permanen sih, tapi aku engga tau yang sekarang gimana).
2. Stay
in touch
Nah, setelah program berakhir,
kita masih keep in touch. Kirim-kiriman
foto terutama foto my big brother yang
kali ini bener-bener udah big and tall,
plus handsome. LOL. He is growing up
before my eyes. Dan aku ngirimin balik foto foto pas aku wisuda dan occasion lainnya.
Ketika aku memutuskan untuk
melamar beasiswa dan Alhamdulillah keterima, mereka luar biasa bahagia nya, terlebih
ketika mereka tahu bahwa aku lulus beasiswa Chevening. British Government Scholarship. Dan ucapan selamat dari Chris waktu
itu bikin aku netes. Lebih kurang Chris bilangnya gini “beasiswa ini sangat
kompetitif Nurul dan sangat prestisius. Kamu sudah berhasil melewatinya berarti
kamu sudah berusaha sangat keras. Well
done and you deserved”
To be honest apa yang Chris bilang itu mampu merangkum semua pahit
yang aku alami, ups and downs selama
setahun, berwara wiri kesana kemari dengan penuh tanda tanya dan ketidakpastian,
dan akhirnya Chevening seolah menjadi hadiah dari semua usaha keras yang aku
jalani. Bak oase di padang pasir. Kepasrahan dan tawadhu kepada sang Pencipta. Netes.
Oke, abaikan. Intinya gitu. Haha.
Kemudian, Chris nanya aku
bakal sekolah dimana. Aku bilang aku masih milih antara dua, either di London or di Manchester. Besoknya, dia nge-email aku tentang beberapa
konsiderasi diantara kedua pilihan tersebut yang pada akhirnya Chris
merekomendasikan untuk lanjut sekolah di London. Termasuk karena faktor
keamanan dan kenyamanan. Dan sebelum merekomendasikan, Chris udah melakukan
berbagai research. And I was like “moved”. Chris juga
bilang kalau adik nya adalah dosen Arkeologi di University of College London
(UCL) dan tinggal di London. So I am able
to meet his brother there. I feel like I have already had family in the UK
before going there.
The last thing He told me that (at that time) that he has Mum living in
Scotland. And I said I would like to visit her. Now, here I am. Somewhere in
Scotland. Eventually, aku bisa ngerasain secara langsung apa yang aku lihat
di album keluarga nya Chris pas aku di Aussie dulu. Allah maha Hebat! Enggak nyangka
bahwa selintas kata akan menjadi sebuah kenyataan.
3. From
Australia to the UK
Aku bergerak dari London ke
Dumfries (part of Scotland) by the train. Aku disuguhkan pemandangan
yang ……… KEREN ABIS…….. sepanjang perjalanan. Padahal malemnya aku cuma tidur 4
jam dan berencana untuk tidur di train.
Tapi apa daya, pemandangan dari jendela kaca menyihir mata aku to stay awake. Begitu nyampe di stasiun
tujuan, akhirnya aku bertemu dengan Nenek Jean. Ibu nya Chris. I called her Jean. Itu kali pertama aku
bertemu dengan Jean. Jean kelihatan sudah sangat tua tapi masih bisa
mengendarai mobil. Lidahku tu udah gatel banget mau nanya usia nya berapa. Tapi
tahan, tetep aku tahan. Haha.
Personally, I love Jean so much. She treats me very well and she is so
kind. Even in the second day, kita udah ngobrol banyak hal. Termasuk,
ternyata Jean adalah salah satu saksi Perang dunia kedua. Oh God. Ada sudut pandang kesedihan di mata Jean pas ngomongin
masalah perang, gimana dia harus mengungsi ke satu tempat ke tempat lainnya dan
itu berefek kepada keseluruhan hidupnya. Dan aku akhirnya angkat bicara sedikit
tentang konflik Aceh dengan tujuan adalah untuk menyampaikan pesan bahwa even kita beda generasi, different culture-language-faith tapi we have something in common, and I could
understand you because I have been on that similar situation. Percakapan cukup
serius untuk diobrolkan di depan meja makan. Tapi bonding kita makin terasa.
Kita berdua juga sempet videocall dengan Chris, Ibu Evi dan Ewan di Aussie sana untuk ngasih kabar kalau aku udah di kampung halamannya Chris dan bertemu dengan Jean. I took a wefie while we were having videocall. It was so nice having family here.
In summary, AIYEP merupakan harta berbentuk pengalaman yang tak
ternilai untukku. AIYEP menjadi jembatan untuk memperluas keluarga dan
mengkoneksikannya satu sama lain. Dan Chevening menjadi jembatan bersambut
untuk menjadikan semua koneksi ini menjadi satu dan nyata.
Dan pada akhirnya hatiku
dibuat menangis dan bahagia oleh sang maha pencipta. Dia meng-kun fayakun-kan jalan
yang terbaik untukku because He knows the
best. Alhamdulillah!
Allah ku, Terimakasih. Nikmat ini
semoga tidak membutakan mata dan hati. Malah sebaliknya, semakin mendekatkan
kepada sang Maha Pengasih.
No comments:
Post a Comment